Berawal dari Gemar Membaca Hingga Dirikan Kantor Penerbitan Sendiri
Gemar membaca menjadi awal dari S.Jai terjun ke dunia penulisan. S.Jai atau yang lahir dengan nama Sujai merupakan lulusan Bahasa dan Sastra Indonesia (Sasindo) Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR) tahun 1998. Saat itu, Sasindo merupakan jurusan baru yang berada di bawah naungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).
Keberagaman dari dosen dan mahasiswa menjadi sebuah kesan yang membekas diingatan pemilik nama pena S.Jai tersebut. Ia menyebut, Sasindo kala itu bagai keluarga, kawan, dan sahabat baginya. Hampir tidak terlihat perbedaan dosen dan mahasiswa. Semua berjuang untuk mencapai visi masing-masing.
“Ada yang berpacu sebagai seniman, sastrawan, yang sungguh-sungguh dengan keilmuan. Semua saling menghormati, mengkritik, berbagi pengalaman dan pengetahuan. Baik sesama mahasiswa maupun dosen,” tuturnya.
Aktif Dalam Berbagai Komunitas Seni
Selama kuliah Sujai aktif dalam sejumlah komunitas seni. Mulai dari komunitas peran dalam lingkup fakultas maupun jurusan yaitu, Teater Puska dan Teater Gapus. Tidak hanya itu, Sujai juga turut bergabung dalam Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) serta Kelompok Seni Rupa Bermain (KSRB). Di Tahun 1995, bersama dengan KSRB, Sujai membuat gerakan budaya bertajuk pameran Seni Rupa Layanan Kami di Depan Republik di Denpasar, Bali.
Ciptakan Novel Hingga Naskah Drama
Bergabung dengan komunitas Bengkel Muda Surabaya (BMS) dan Kelompok Seni Rupa Bermain (KSRB) menjadi pemacu S.Jai untuk aktif menulis. Bahkan, tulisannya dimuat pada koran kala itu. Esai sastra remaja yang ia buat menjadi tulisan pertama yang terbit di koran Karya Dharma pada tahun 1993. Berlanjut dengan cerpen bertajuk Priyayi yang terbit di koran Surya.
Setelah lulus dari UNAIR, Sujai meneruskan karirnya menjadi seorang reporter di Jawa Pos dan Kompas Gramedia. Di sela-sela pekerjaannya itu ia mulai menyusun novel pertamanya yang bertajuk Tanah Api. Dalam penyusunan novel tersebut ia bahkan turut mewawancarai Pramoedya Ananta Toer untuk menambah inspirasi. Hingga akhirnya novel itu diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta di tahun 2005.
Ia juga turut menulis naskah drama berjudul Alibi yang dipentaskan komunitas teater FIB UNAIR dan Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya. Bahkan, naskah tersebut diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jawa Timur dalam tajuk Dewa Mabuk pada tahun 2010.
Setelah menuliskan Alibi, Sujai mengaku menempuh masa sulitnya. Ia berhenti dari pekerjaannya, hingga akhirnya kerja serabutan. Namun, dalam keadaan tersebut penulis itu semakin gencar menulis cerpen hingga novel. Salah satunya, Tanha, Kekasih yang Terlupa.
Penulis itu mengaku, sejak ia tergabung dalam pekerjaan NGO seperti, Center for Religious and Community Studies Surabaya dan Women and Youth Development Institute of Indonesia, hidupnya menjadi lebih baik. Ia banyak melahirkan karya yang dimuat surat kabar ketika bergabung bersama kedua lembaga tersebut. Mulai dari cerpen hingga naskah drama. Salah satunya Drama Sepotong Cinta dan Senyum Rupiah yang juga terbit bersama Alibi dalam tajuk Dewa Mabuk.
Banyak tulisan-tulisan S.Jai lainnya yang terbit di berbagai penerbitan. Tidak jarang ia menerima penghargaan dari karya-karyanya. Salah satunya, Juara Ketiga Sayembara Cerita Panji Dewan Kesenian Jawa Timur 2010 dengan karyanya Rembulan Terperangkap Ranting Dahan. Ia juga mendapatkan penghargaan Bidang Sastra oleh Gubernur Jawa Timur tahun 2015. Selain itu, S.Jai juga meraih Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Jawa Timur bidang Esai/Kritik Sastra tahun 2019. Salah satu novelnya yaitu Ngrong juga mendapatkan gelar 10 Besar terbaik di Nongkrong.co award.
Laki-laki kelahiran 4 Februari 1973 itu menuturkan bahwa menulis merupakan salah satu tanggungjawab dan pilihan hidupnya. Menulis telah menjadi bagian dari hidup itu sendiri bagi Sujai.
“Buat saya menulis sastra itu proses yang menyiksa diri. Sekaligus untuk menemukan jalan pembebasan. Jalan pembebasan dengan kebebasan untuk bermain,” jelasnya.
Dirikan Pagan Press
Sering merasa kecewa dengan para penerbit, membuat S.Jai berinisiatif mendirikan lembaga penerbitan sendiri. Ia sempat mengeluarkan idenya tersebut di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tempatnya bekerja, berharap mendapatkan dukungan. Namun, idenya itu tidak mendapatkan respon baik sehingga ia memutuskan membuka usaha penerbitan secara mandiri.
Kantor Penerbitan itu ia beri nama Pagan Press. Berdiri sejak tanggal 10 Oktober 2014, saat ini Pagan Press telah menerbitkan lebih dari 380 buku dengan berbagai genre. Banyak suka dan duka yang ia rasakan ketika merintis Pagan Press bersama kawan-kawannya. Sujai mengaku, ia merasa senang mengembangkan Pagan Press, sebab banyak berhubungan dengan orang dari berbagai disiplin ilmu. Hal tersebut memacunya untuk terus belajar, terutama dalam bidang kepenulisan.
“Yang luar biasa, semula saya berniat men-support penulis-penulis pemula, malah justru para penulis kawakan seperti Akhudiat merespon cepat. Artinya, tokoh sekaliber Akhudiat pun punya masalah dengan dunia penerbitan kita, lantas menemukan jalannya bersama ikhtiar saya,” jelasnya.
Meskipun banyak mendapatkan hal positif ketika merintis Pagan Press. Lelaki asal Kediri itu terkadang sedih melihat minat masyarakat yang sangat rendah pada dunia kepenulisan. Ia juga mengaku cukup sedih jika naskah yang masuk belum memiliki kualitas yang memadai.