Gaungkan Kebenaran dalam Tubuh Pers
“Pohon yang kokoh berawal dari akar yang kuat dan akar yang kuat bagi Ksatria Airlangga adalah UNAIR.”
Hidup adalah sebuah pilihan. Tidak banyak orang memilih jalan kebenaran sebagai tujuan hidup. Salah satunya, Pramono Hari Susanto atau akrab disapa Pramono. Bermula dari kecintaannya pada dunia pers saat masih berstatus mahasiswa, laki-laki kelahiran Kota Surabaya itu akhirnya memutuskan berkarya di bidang jurnalistik. Saat ini, ia merupakan eksekutif produser perusahaan media Metro TV, yang bertanggung jawab memegang beberapa program berita politik.
Bagi Pramono, profesi jurnalis bukan sekadar profesi biasa, melainkan juga menjawab sebuah panggilan jiwa. Sebab menurutnya, hanya orang-orang tertentu yang mampu mengemban tugas mulia tersebut.
Aktif Organisasi Hingga Jadi Presiden BEM Pertama Fakultas Sastra
Pada tahun 1997, Pramono menempuh studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) jurusan Sastra Indonesia (sebelum Fakultas Sastra berdiri sendiri dan kini berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Airlangga (UNAIR). Memasuki tahun pertama kuliah, ia telah dikenal sebagai mahasiswa yang aktif dan kritis. Terbukti, dirinya sempat bergabung dalam organisasi mahasiswa seperti Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) FISIP.
Pramono bercerita, pemilihan BPM FISIP saat itu sudah melalui pemilihan umum raya (pemira), yang mana ia pernah menjadi wakil ketua BPM FISIP 1997. Di tahun 1998, ia terpilih menjadi presiden BEM Fakultas Sastra yang pertama kali sejak resmi berdiri sebagai fakultas baru.
Di tengah gelombang reformasi, organisasi mahasiswa saat itu turut didesak untuk berubah. Di sisi lain, Pramono juga terlibat dalam peralihan SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi) yang sudah lama vakum menjadi BEM Universitas.
Temukan Passion dalam Jurnalistik
Lebih lanjut, Pramono sempat terjun ke dalam organisasi pers kampus bernama Suara Airlangga. Ia mengungkap ketertarikannya pertama kali pada bidang jurnalistik bermula ketika melihat peran Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di masa reformasi 1998. Saat itu, sambungnya, pers kampus menjadi corong mahasiswa untuk menyuarakan keadilan.
“Dulu, di era reformasi tahun 1998, Suara Airlangga (SUGA) jadi salah satu media kampus yang ditunggu. Tidak hanya di kalangan mahasiswa dan dosen, bahkan pihak-pihak lain termasuk aparat juga memantau aktivitas mahasiswa yang saat itu cukup represif. Dari pengalaman inilah, saya menyadari passion saya dengan berkontribusi lewat dunia jurnalistik,” tuturnya.
Meski begitu, kesibukan kuliah sembari organisasi tak lantas membuat Pramono menelantarkan kewajiban utamanya sebagai mahasiswa. Ia berhasil lulus tepat waktu dan membuktikan bahwa organisasi dapat menjadi wadah untuk pengembangan diri.
Panggilan Jiwa Seorang Jurnalis
Usai menyandang gelar sarjana tahun 2002, Pramono memulai perjalanan karier sebagai reporter Jawa Pos TV. Enam tahun kemudian, ia memutuskan ‘hijrah’ ke Metro TV yang berpusat di Jakarta. Tentu pilihan tersebut tidak mudah bagi Pramono, sebab ia harus meninggalkan kampung halamannya.
“Tahun 2008, saya pindah ke Jakarta dengan bonek (bondho nekat, Red). Untungnya masih sama di perusahaan media massa jadi tidak jauh berbeda, hanya adaptasi soal lingkungan masyarakatnya saja,” ungkap Pramono.
Selanjutnya, laki-laki kelahiran 1978 itu mendapat tugas menjadi bagian dari pengembangan Metro TV Jawa Timur. Pada tahun 2014, Pramono kembali ke Jakarta dengan posisi sebagai produser dan hingga kini menjadi eksekutif produser Metro TV. Pengalaman dua dekade di bidang jurnalistik membuatnya diamanahi memegang program Primetime News.
Dalam menjalani tugasnya, Pramono mengaku tidak pernah mengalami kendala kendati latar belakang pendidikannya bukan dari jurusan komunikasi atau jurnalistik. Sebab baginya, menjadi jurnalis tidak hanya soal hard skill atau ilmu akademik, namun juga soft skill dan pengalaman.
Sumbangsih untuk Negeri
Jurnalis yang menjalankan profesinya dengan sungguh-sungguh tentu berpegang teguh pada etik dan prinsip jurnalistik, maka tidak berlebihan jika jurnalis disebut sebagai penyambung lidah rakyat. Menurutnya, salah satu tolok ukur negara demokrasi adalah terjaminnya kebebasan pers serta pers yang menjunjung tinggi nilai-nilai atas profesinya.
Memasuki tahun politik, Pramono berusaha menjaga integritas pers berdasarkan prinsip-prinsip jurnalistik. Pada akhir, ia juga berpesan kepada Ksatria Airlangga agar dapat memanfaatkan waktu selama kuliah untuk mengembangkan potensi diri.
“Berbuatlah sebaik-baiknya di dalam maupun luar kampus. Selain itu, kita harus mampu berperan di masyarakat dengan menebar kebermanfaatan,” pungkasnya.