David Handojo Muljono

Indonesia Perlu Dokter yang Tidak Sekadar Mengobati                                                                           

David Handojo Muljono merupakan salah satu putra terbaik Universitas Airlangga. Tidak hanya memiliki reputasi yang baik sebagai dokter, David, demikian ia biasa disapa, juga mengemban peranan penting di lembaga riset milik pemerintah, yakni Eijkman Institute.

Perjalanan lelaki asal Magelang hingga berhasil menjadi bagian dari Eijkman Institute sekaligus salah satu sosok yang berperan penting dalam bidang kesehatan di Indonesia itu bermula ketika ia diterima di Fakultas Kedokteran (FK) UNAIR pada tahun 1974 silam.

David mengungkapkan, kala itu, UNAIR masuk dalam daftar perguruan tinggi unggulan bersama empat perguruan tinggi lainnya. Untuk bisa diterima, calon mahasiswa wajib mengikuti ujian yang bernama SKALU atau Sekretariat Kerjasama Antar Lima Universitas.

“Dari ujian SKALU, saya kemudian diterima di tiga tempat, tetapi memilih UNAIR karena ibu orang Jawa Timur dan banyak keluarga yang diobati di sini. Selain itu, saya melihat suasana belajar di sini terkesan lebih kondusif,” beber lelaki kelahiran 30 Maret 1954 itu.

Sebagai alumnus UNAIR tahun 1974, David bersama teman-temannya menjadi angkatan terakhir yang merasakan pekan orientasi mahasiswa (POSMA). Meskipun dipelonco, dia mengaku tak marah karena akhirnya bisa membangun hubungan pertemanan yang kuat.

Hubungan pertemanan yang kuat dirasakan David, salah satunya ketika ia jatuh sakit pada awal perkuliahan. Ketika itu, fotokopi belum ramai dan mahal. Oleh karena itu, jika ingin memperbanyak catatan mahasiswa biasanya akan memanfaatkan tindasan karbon.

“Ketika itu saya jatuh sakit selama hampir satu bulan lebih, tapi teman-teman selalu meminjamkan catatan mereka, sehingga saya tidak ketinggalan materi kuliah,” tuturnya.

Diterjunkan untuk Membantu Peristiwa Gunung Agung

Meskipun disibukkan dengan akademik, David juga tetap menyempatkan diri untuk mengikuti kegiatan seperti mentoring, senat, hingga kelompok studi. Namun, yang paling berkesan adalah ketika dirinya diterjunkan ke daerah untuk melakukan aksi sosial.

“Satu hal yang istimewa, FK UNAIR itu memiliki program Model Pendidikan Kedokteran Masyarakat (MPKM). Jadi para mahasiswa, dari tingkat dua sampai dokter muda akan diterjunkan ke daerah selama beberapa waktu dalam grup, didampingi dosen,” jelasnya.

David bercerita, pada waktu itu dirinya mendapatkan kesempatan untuk melakukan aksi sosial di Kedamaian, Gresik. Aksi sosial yang dilakukan pun tidak selalu berkaitan dengan bidang kesehatan, melainkan juga di luar bidang kesehatan, seperti berkebun bersama masyarakat, membuat penyaringan air, dan berkomunikasi dengan para perangkat desa.

“Selain itu, saya pernah diterjunkan untuk menolong para korban dari peristiwa Gunung Agung di Bali. Kami bekerjasama dengan mahasiswa Universitas Udayana. Saya juga sempat melakukan penelitian gizi di Desa Tanah Beak, Nusa Tenggara Barat,” kata David.

Dokter Inpres yang Berhasil Menjadi Dokter Teladan

Setelah lulus dari FK UNAIR pada tahun 1981, David lantas bertugas sebagai dokter inpres di Bima dan Lombok Timur, NTB. Ia mengungkapkan, ketika itu, kondisi beberapa daerah di sana belum terlalu maju. Untuk bepergian ke antar daerah, masyarakat perlu menempuh waktu selama berjam-jam. Selain itu, akses kendaraannya pun juga terbatas.

“Jadwal saya, setiap pagi biasanya mengurus masyarakat. Kalau malam, berbaur dengan mereka, ntah itu diminta untuk mengisi ceramah atau membakar jagung,” kenang David.

Selama bertugas, David tidak hanya mengabdi dan mengobati masyarakat, tetapi juga menemukan penderita gondok endemik. Ia kemudian mengajukan persoalan mengenai gondok endemik kepada pemerintah setempat agar hal tersebut bisa segera diberantas.

“Kebetulan ada kampanye dari calon kepala daerah, jadi kita tunjukkan bahwa di NTB ada masalah gizi dan kekurangan yodium yang harus dibasmi. Akhirnya, muncul program pemberian suntik lipiodol pada masyarakat setempat yang berusia subur,” terang David.

Meskipun kerap mengalami hambatan karena fasilitas kesehatan yang terbatas, David tetap mengabdi dengan sepenuh hati. Bahkan, ia bersama rekan-rekan tenaga medis setempat pernah membuat ruang perawatan darurat untuk menangani kasus darurat yang dibangun dari gedung dewan hakam yang biasa digunakan sebagai tempat tilawati.

“Kalau kasus darurat, kita harus kirim pasien ke Bima dan itu lama. Belum lagi kendaraan terbatas. Hanya ada mobil milik camat, pemilu, babinsa, atau polisi yang datangnya tidak setiap hari. Pasien bisa keburu meninggal. Lucunya, saya yang non muslim ini pernah ditunjuk sebagai Ketua Musabaqah Tilawatil Quran,” sambung David sembari tertawa. 

Kisah menarik lain yang pernah dialami David adalah ketika dirinya harus menangani persalinan seorang ibu. “Tapi, bayinya tidak bisa keluar. Akhirnya, saya tolong. Wah, itu ngeri kalau sampai meninggal karena keluarganya sudah menunggu di pintu dengan badik di pinggang. Untung saja lahir selamat. Saya kasih nama Argo Muljono,” kekehnya.

Atas jasanya selama menjadi dokter inpres, David diganjar penghargaan dokter teladan.

Usulkan Proyek Hepatitis dan Proyek Gondok Endemik

Usai merampungkan tugas sebagai dokter inpres, David tidak langsung angkat kaki dari NTB. Ia justru pindah ke dinas kesehatan di ibu kota provinsi, yakni Mataram. Sembari menjalankan tugasnya, peraih gelar akademik profesor Indonesia bidang ilmu hayati ini ikut membuat proyek hepatitis pertama di Indonesia bersama (Alm.) Profesor Suwignyo.

“Sekitar tahun 1989 sampai 1992, hepatitis belum terlalu dikenal. Hal ini menjadi proyek pertama, yakni menyuntik bayi yang baru lahir dengan vaksin. Kemudian, saya dipanggil kembali ke Surabaya karena diterima di spesialis penyakit dalam di UNAIR,” lanjut David.

Meski demikian, David tetap mengembangkan proyek hepatitis bersama proyek gondok endemik. Bahkan, proyek gondok endemik ini sempat ia paparkan di kongres Semarang.

Pada waktu yang sama, David mendapat tawaran untuk menempuh pendidikan sebagai ahli liver di University of Sydney. Beruntungnya, ia diizinkan untuk berkuliah di Sydney terlebih dulu sebelum kemudian melanjutkan kembali pendidikan spesialisnya di UNAIR.

Hubungan bersama University of Sydney tetap dijaga oleh David, bahkan hingga dirinya bekerja sebagai dosen dan terlibat dalam penelitian di Tropical Disease Research Center (ITD) atau yang sekarang dikenal dengan nama Institute of Tropical Disease (ITD), UNAIR.

Belum lama diangkat menjadi dosen UNAIR, pada tahun 1995, David kemudian pindah tugas ke Jakarta. Hal ini terjadi setelah (Alm.) B.J. Habibie kembali meresmikan Eijkman Institute. Habibie yang pada masa itu menjabat sebagai presiden ketiga, bersama kepala Eijkman, Profesor Sangkot Marzuki, mencari ahli yang memahami soal molekul dan DNA. 

“Akhirnya, sama menteri kesehatan pada masa itu, Pak Suyudi, merekomendasikan saya untuk menjembatani bidang ilmu klinik dengan ilmu molekuler dan ilmu DNA di Eijkman Institute sampai sekarang. Saya dipasrahi posisi deputi penelitian translasional,” ujarnya.

Jadi Utusan Indonesia yang Usulkan Program Hepatitis

Perjuangan dalam meneliti hepatitis tidak berhenti. David menuturkan, hepatitis adalah penyakit yang berbeda dan banyak diderita oleh masyarakat. Ia pun mengusulkan pada menteri Suyudi agar membuat program hepatitis beserta vaksinasi dalam skala nasional.

Momen yang membanggakan dalam perjuangan meneliti hepatitis, kata David, adalah ketika dirinya diminta menteri kesehatan berikutnya, (Alm.) Endang Sedyaningsih, untuk menjadi utusan Indonesia di assembly yang diadakan World Health Organization (WHO).

Dalam assembly WHO, Indonesia mengusulkan hepatitis dan flu burung sebagai program prioritas. Usul ini pun disetujui, sehingga prioritas dunia tidak lagi hanya berfokus pada tiga penyakit, yakni malaria, TBC, serta HIV, melainkan juga hepatitis maupun flu burung.

“Waktu itu, usul kita didukung oleh Brazil dan beberapa negara lain. Dengan demikian Indonesia dianggap sebagai pelopor, terutama di Asia. Aduh, terharu sekali karena usul tersebut disetujui tepat di hari kebangkitan nasional, tanggal 20 Mei 2010,” cerita David.

Belakangan, sejak COVID-19 terjadi, David menyebutkan bahwa pengetahuan soal ilmu molekuler beserta DNA tidak hanya untuk meneliti hepatitis, tetapi juga kandidat vaksin.

Indonesia Perlu Dokter yang Tidak Hanya Mengobati

Ketika ditanya pandangan mengenai bidang kedokteran saat ini, David menegaskan jika Indonesia sebenarnya tidak kalah dengan luar negeri. Sayang, hal ini masih memerlukan perhatian. “Banyak peneliti asing yang meneliti di sini? Kenapa bukan kita?” tanya David.

Oleh sebab itu, ia mengatakan jika Indonesia tidak hanya membutuhkan dokter yang dapat mengobati, melainkan juga mengembangkan ilmu dan melakukan pengabdian. 

Riwayat Pekerjaan

  • Deputy Director for Translational Research

    Eijkman Institute for Molecular Biology

  • Head of the Department of Hepatitis and Emerging Diseases

    Eijkman Institute for Molecular Biology

  • Institute for Molecular Biology, Jakarta, Indonesia

  • Professor of Medicine

    Universitas Hasanuddin

  • Honorary Professor

    Faculty of Medicine and Health, University of Sydney, Sydney, Australia

Riwayat Pendidikan

  • D Program: Division of Immunology and Molecular Virology

    Jichi Medical University. Tochigi-Ken, Japan

    1996 - 2000

  • Specialty Training: Department of Internal Medicine

    Universitas Airlangga

    1988 - 1993

  • Kedokteran

    Universitas Airlangga

    1974 - 1981

Alumni Berprestasi

Copyright © Universitas Airlangga