Barunanto Ashadi

Sebisa Mungkin Berikan Peninggalan Positif Bagi Masyarakat Sekitar

Barunanto Ashadi, atau kerap disapa dokter Baru adalah Alumnus Universitas Airlangga tahun 1988 yang memutuskan kembali ke kota kelahiran untuk mengabdikan diri sebagai dokter. Alumnus kelahiran 1 Januari 1961 itu tercatat menempuh kuliah di Universitas Airlangga selama 8 tahun mulai 1980. 

Saat itu, S1 Kedokteran umumnya ditempuh selama 5 tahun. Kemudian 2 tahun lanjutan untuk program pendidikan profesi. Pada kasus Barunanto, ia memiliki jeda setengah tahun, sehingga ia mendapat gelar Dokter Muda lebih lama dari seharusnya. 

“Setelah lulus dari S1, ada jeda beberapa bulan sebelum masuk program profesi 2 tahun,” katanya. 

Terlibat Sejarah Kelahiran Festival Reog Ponorogo

Menempuh studi selama 8 tahun, membuat Barunanto memiliki banyak waktu untuk mengembangkan diri sebagai mahasiswa. Semasa kuliah, ia memaksimalkan waktunya dengan berorganisasi. Ia aktif sebagai Ketua KMPPS, sebuah organisasi perkumpulan mahasiswa dan pelajar asal Ponorogo di Surabaya. 

Di bawah komandonya, KMPPS kala itu menggalang potensi warga Ponorogo yang tinggal di Surabaya untuk menggagas Festival Reog Ponorogo. Ide itu awalnya tercetus dari salah satu warga yang kemudian dibantu realisasinya oleh mahasiswa. 

“Idenya dari bapak-bapak, kami memediatori untuk menyelenggarakan Festival Reog Ponorogo di Surabaya tahun 1985-1986. Akhirnya bisa terbentuk hingga kemudian diadopsi di Ponorogo dan menjadi tradisi setiap Suro,” tuturnya. 

Setidaknya saat itu telah ada 20 kelompok Reog yang tersebar di Surabaya. Namun penampilannya terbatas di lingkungan kecil masing-masing warga. Setelah terwujud, Festival Reog Ponorogo telah ditampilkan secara besar-besaran sebanyak dua kali di Surabaya. Pertama, digelar di depan Kantor Kota Madya. Yang kedua di Gelora Pancasila. 

Bantu Listrik Masuk Desa Hingga Inisiasi Pendirian PAUD

Sejak sukses menghidupkan Reog Ponorogo, kecintaan Barunanto terhadap kota kelahirannya kian pekat. Hal itu tercermin ketika ia memutuskan untuk membangun karir di Ponorogo pada tahun 1989. Satu tahun sejak kelulusannya dari Universitas Airlangga. 

Karir pertamanya dimulai dengan menjadi Kepala Puskesmas Kunti yang terletak di Kecamatan Sampung, Ponorogo. Di sana, ia cukup akrab dengan sang kepala desa, sehingga sering dilibatkan dalam berbagai kegiatan Desa Kunti. Termasuk ketika Barunanto diminta menjadi koordinator dalam proses masuknya listrik ke desa pada tahun 1993. 

Sejak saat itu, tak sedikit jejak peninggalan Barunanto di desa-desa tempat ia mengabdi. Dia berusaha untuk sebisa mungkin memberikan oleh-oleh atas ilmu yang ia miliki. Semangat itu membuat Barunanto tergerak untuk memelajari Ilmu Sosiologi di Universitas Muhammadiyah Malang pada 2007. 

Ketika dialihtugaskan ke Puskesmas Pulung pada 1998 hingga 2010, Barunanto banyak menginisiasi program kesehatan bagi masyarakat. Namun, tak ada satu pun yang bertahan lama. Salah satunya adalah pembentukan kader posyandu yang hampir bubar karena anggotanya terus berkurang. Ia sadar ada aspek ilmu sosial yang perlu dipahami dengan baik.

Akhirnya Barunanto terpikir untuk memberikan seragam bagi kader posyandu sebagai bentuk penghargaan atas jasa mereka. “Kita ingin mengubah pandangan masyarakat bahwa reward tidak harus dalam bentuk uang. Alhamdulillah sejak itu mereka lebih sering datang ke puskesmas. Ini adalah salah satu oleh-oleh yang saya dapatkan dari belajar ilmu sosiologi,” ujarnya.

Barunanto juga sempat menginisiasi pendirian sejumlah sekolah. Dua di antaranya yakni pendirian Akademi Keperawatan Ponorogo pada 1992 yang kini telah berubah nama menjadi Universitas Muhammadiyah Ponorogo serta pendirian PAUD di Kecamatan Pulung pada 2001. Kabarnya, PAUD yang ia dirikan semakin mendapatkan banyak murid dan telah berkembang menjadi Sekolah Dasar. 

“Saat itu belum ada PAUD di daerah-daerah, makanya sempat ditertawakan lingkungan waktu itu. Sekolah kok cuma main-main, begitu katanya. Tapi prinsip saya sebisa mungkin ada peninggalan positif di suatu tempat,” sambung Ketua Majelis Kesehatan Muhammadiyah Daerah periode 1990 hingga 1995. 

Naik Turun Bukit Demi Jemput Pasien

Sebelum karirnya melejit seperti saat ini, Barunanto pernah memimpin empat puskesmas berbeda yang berlokasi di pelosok Ponorogo. Jika ditotal, itu berlangsung selama 21 tahun mulai dari 1989 hingga akhir 2010. 

Mengabdi di desa-desa pelosok memiliki tantangan tersendiri sebab akses infrastruktur belum memadai. Tak jarang, ia harus menempuh perjalanan naik turun bukit menuju rumah pasien yang butuh pertolongan. Seperti ketika ia ditugaskan ke Puskesmas Ponorogo Utara juga untuk mempersiapkan akreditasi Puskesmas pada awal 2017 hingga pertengahan 2020. 

Suatu sore, seorang warga mengeluhkan anggota keluarganya sakit perut. Rumahnya melewati bukit yang jarang dijamah. Bahkan sepeda motor tidak bisa menjangkau hingga ke rumah pasien. Mau tak mau, Barunanto harus menempuh setengah perjalanan dengan berjalan kaki. Sampainya di tempat tujuan, pasien ternyata menderita sakit perut akibat tiga hari tidak buang air kecil setelah melahirkan. Keadaannya cukup kritis dan perlu dilakukan tindakan medis. Sedangkan peralatan yang dibawa Barunanto saat itu tidak lengkap.

“Perlu Kateter, sedangkan saya tidak bawa. Karena semakin gelap, akhirnya pasien dibawa ke rumah warga yang lebih dekat puskesmas agar dapat dijangkau sepeda motor. Setelah Magrib saya kembali menemui pasien. Di rumah itu belum ada listrik, masih pakai lampu minyak tanah, tapi alhamdulillah tindakan bisa dilakukan dengan penerangan seadanya,” cerita Barunanto. 

Tak hanya itu, kasus serupa juga sering terjadi. Tak jarang, keluarga menolak agar pasien dirujuk. Alasannya karena kepercayaan leluhur yang sangat kental. Untuk itu, Barunanto harus berkompromi dengan keluarga pasien hingga akhirnya pasien berhasil dirawat. 

Meski sangat berliku dan penuh tantangan, profesi mulia menjadi seorang dokter tak pernah Barunanto sesali. Tekadnya menjadi dokter telah bulat sejak duduk di bangku kelas XII SMA. Ia juga bersyukur ada sosok pasangan hidup yang selalu sabar dan mendukungnya. Walau mengawali hidup tanpa disinari cahaya listrik, keduanya bersyukur dapat mengantarkan anak pertama mereka sebagai tim olimpiade Astronomi Indonesia di Ukraina tahun 2004 dan di Thailand 2007. 

“Menurut hukum fisika, energi tidak hilang, hanya berubah bentuk. Ibarat perbuatan baik adalah energi positif, saya yakin bahwa energi positif itu akan kembali ke saya dalam bentuk energi positif juga. Artinya kebaikan yang kita lakukan, maka kebaikan pulalah yang nantinya kita peroleh dari arah yang tidak kita sangka,” tandas mantan pejuang Program Studi Fisika Universitas Gadjah Mada itu.

Riwayat Pekerjaan

  • Direktur

    RSU Muhammadiyah Ponorogo

    2021 - now

  • Wakil Direktur Medik

    RSUD Dr. Harjono Ponorogo

    2011 - 2016

  • Kepala

    Puskesmas Pulung Kecamatan Pulung, Ponorogo

    1988 - 2010

Riwayat Pendidikan

  • Magister Sosiologi

    Universitas Muhammadiyah Malang

    2007 - 2009

  • S1 Kedokteran

    Universitas Airlangga

    1980 - 1988

Alumni Berprestasi

Copyright © Universitas Airlangga