Belajar Agent of Change dari Nyamuk
Karir Ermi di dunia kesehatan masyarakat merupakan perjalanan panjang dan berliku. Doktor lulusan School of Environmental Planning, Griffith University, ini menapaki dunia akademik sejak tamat SMA melalui jenjang pendidikan Diploma Tiga di Akademi Penilik Kesehatan Denpasar, Bali; Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya, hingga lulus doktoral (PhD) dari Griffith University, Brisbane, Australia.
Setelah tamat SMAN 1 Kupang pada 1989, Ermi merantau ke Bali. Dia melanjutkan pendidikan Diploma III Kesehatan Lingkungan di Denpasar (tamat 1992). Setelah itu, Ermi menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Kantor Kesehatan Pelabuhan Dili, Timor Timur (saat ini Timor Leste) pada 1993–1997.
Merangkap Karyawan Suara Timor Timur
Ada yang menarik dalam perjalanan karir Ermi di Dili, Timor Timur. Sebagai PNS, pada saat yang sama, dia bekerja sebagai karyawan harian umum Suara Timor Timur (STT). Harian ini kali pertama terbit pada 1 Februari 1993, bertepatan dengan pengadilan terhadap Xanana Gusmao. Manajemen STT ketika itu di bawah kendali kelompok Kompas Gramedia (KKG) melalui Persda (Pers Daerah).
Bekerja di dua tempat membuat Ermi harus mampu membagi waktu. Sebagai PNS di pagi hari dan karyawan surat kabar harian yang berburu dengan deadline waktu terbit detik per detik di malam hari.
Selepas dari Dili, Ermi melanjutkan pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat di FKM Universitas Airlangga pada 1997. Kuliahnya diselesaikan pada 1999.
Pengalaman sebagai pekerja pers di Dili, Timor Timur, membawa Ermi ikut aktif sebagai anggota Pers Mahasiswa (Persma) Senat Unair. Bersama teman Persma Unair, dia menerbitkan Majalah Suara Airlangga atau Suga. Suga saat itu merupakan salah satu majalah kampus yang disegani.
Pernah Mendampingi 200 Anak Jalanan di Surabaya
Bagi Ermi, dua tahun belajar di Unair dan tiga tahun hidup di Surabaya merupakan waktu yang singkat. Namun, itu tidak menjadi penghalang baginya untuk menimba ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya.
Misalnya, di sela-sela kesibukan sebagai mahasiswa, Ermi aktif bekerja sebagai pendamping anak jalanan (anjal) pada Yayasan Insani. Yayasan ini mendampingi anak jalanan di Kota Surabaya. Perintisnya adalah salah satu dosen FKM, Dr. dr. Sri Adiningsih, MNC.
Di bawah bimbingan Bu Dien, sapaan Dr. Sri Adiningsih, Ermi mendampingi anak jalanan di Dupak, Tugu Pahlawan, Siola, dan Wonokromo. Kurang lebih 200 anak jalanan yang didampingi Ermi dan teman-temannya.
"Pengalaman mendampingi anjal merupakan pengalaman yang tidak pernah terlupakan," kata Ermi.
Menurut Ermi, ada pelajaran berharga yang bisa dipetik, yakni tentang kehidupan yang keras di kota besar dan bagaimana anak-anak jalanan menumbuhkan survival skill mereka. Itu mungkin tidak pernah ada dalam textbook manajemen kehidupan mana pun di dunia. "Pengalaman bersama anak jalanan juga memberikan inspirasi bagi saya," ujarnya.
Bahkan, skripsi Ermi menarik perhatian Jawa Pos. Karena itu, Jawa Pos menuliskan pengalaman Ermi bersama anak jalanan secara bersambung selama tiga hari (Jawa Pos, 9, 10, dan 11 Oktober 1999).
Selesai dari FKM Unair, seiring dengan "lepasnya" Timor Timur dari pangkuan RI, Ermi pindah dari KKP Dili ke Kupang dan bekerja di Dinas Kesehatan Provinsi NTT.
Pada saat bekerja sebagai PNS di Dinas Kesehatan Provinsi NTT, Ermi mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan Master of Science in Public Health (MScPH) di Griffith University, Brisbane, Queensland, Australia pada 2001. "Saya menyelesaikan studi Master of Science in Public Health tahun 2002," katanya.
Setelah menamatkan program masternya, Ermi dikontrak menjadi tenaga dosen pada School of Public Health, Griffith University selama dua periode, 2003–2005 dan 2008–2009.
Pada 2005, dia berhasil mendapatkan beasiswa dari Griffith University untuk program doktoral pada Griffith School of Environmental Planning. "Saya lulus pada 2009," lanjutnya.
Panggilan untuk kembali berkarya di Indonesia membuat Ermi memutuskan pulang ke tanah air setelah sembilan tahun (2001–2009) menetap di Brisbane – kota yang menjadi "rumah keduanya".
Gabung ke UNICEF
Selepas dari Griffith, Ermi bergabung dengan UNICEF Indonesia pada tahun 2010. Ia didaulat menjadi Health Officer untuk program malaria dan imunisasi pada UNICEF Field Office Kupang.
Selama berkarya di UNICEF dan selama mahasiswa, Ermi banyak melakukan penelitian tentang nyamuk, terutama nyamuk Anopheles pembawa parasit malaria.
Dari nyamuk, Ermi belajar tentang agen perubahan atau "agent of change". Seperti pepatah Afrika:
"If you think you are too small to make a difference, you never spent a night with a mosquito."
Demikian filosofi hidup dan kerja Ermi. Tidak perlu menjadi besar untuk membuat perubahan. Karena itu, jadilah selalu agen perubahan di mana pun berada.
Ermi saat ini hidup bahagia di Kupang bersama sang istri, Wanti, yang juga alumnus FKM Unair. Wanti sehari-hari menjadi dosen pada Jurusan Kesehatan Lingkungan, Politeknik Kesehatan Kemenkes RI, di Kupang.
Saat ini, Wanti juga tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana (S3) Unair. Ermi dan Wanti dikaruniai dua putra: Amadeus Jacaranda Christna atau Jaca (14 tahun) dan Avatar Sargamantha atau Arga (12 tahun). Jaca sudah di kelas 10 (SMA Dian Harapan Kupang) dan arga kelas 8 di SMPlentera Harapan Kupang.