Aziz Manna

Berkarya Dalam Senandung Syair

F. Aziz Manna merupakan nama pena dari sastrawan Fatkhul Aziz, S.S. Pria kelahiran Sidoarjo, 8 Desember 1978 tersebut merupakan alumnus Program Studi (Prodi) Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR). Awalnya, ia tidak pernah berpikir untuk menempuh studi yang berkenaan dengan sejarah, toh, Aziz tidak bercita-cita sebagai seorang sejarawan. Sederhana, ia memilih UNAIR karena sebelumnya, sang kakak merupakan mahasiswa di kampus tersebut. Selepas lulus SLTA pada Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Tambakberas Jombang, sang kakak menyuruhnya untuk mencoba UNAIR.

“Karena perhitungan persaingan yang cukup ketat, saya memilih pilihan pertama itu sebenarnya Psikologi kemudian pilihan kedua  baru Ilmu Sejarah, ini agak praktis memilih Ilmu Sejarah,” ungkapnya.

Kala itu, Ilmu Sejarah masih berada pada naungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), belum dalam naungan Fakultas Ilmu Bahasa seperti sekarang. Ia masuk pada tahun 1998 dan hal tersebut menjadikannya sebagai angkatan pertama di Prodi tersebut. Baginya, hal menarik dalam perkuliahan ketika terjadi diskusi pada ruang kelas, terutama ketika sesi presentasi yang biasanya berujung pada diskusi.

Tongkrongan Sastra dan Teater

Satu hal, selain sebagai mahasiswa, Aziz pun memiliki ketertarikan dengan dengan dunia sastra. Tulisan hingga puisi, ia geluti selama menjadi mahasiswa. Beberapa waktu, dirinya juga sempat mengirimkan beberapa karya garapannya ke media cetak. Apalagi, kondisi saat itu merupakan momen reformasi yang mengakibatkan turunnya Presiden Soeharto yang telah berkuasa puluhan tahun.

Seperti pepatah, burung yang sejenis akan bertengger pada dahan yang sama. Dengan ketertarikannya kepada dunia sastra, akhirnya Aziz dikumpulkan dengan teman-teman yang memiliki kesukaan yang sama. Saat itu, cangkruk-an atau nongkrong sambil berdiskusi menjadi agendanya hampir tiap hari.

“Seberangnya (ASEEC Tower) dulu ada warung, disitu basecamp-nya. Dulu temen-temen ngumpul-ngumpul disitu, diskusi panjang lebar soal seni, sastra, filsafat,” ujar Aziz.

Ia bercerita, ketika itu terdapat dua majalah yang terkadang memiliki opini yang bertolak belakang, yaitu majalah KALAM dan HORIZON. Bersama kawan setongkrongan, Aziz sering mendiskusikan kedua majalah tersebut, bahkan, sering kali mereka memiliki opini tersendiri yang berbeda. Tentu saja, hal ini seakan-akan mereka menjadi poros ketiga diantara dua opini umum yang tersebar di tengah masyarakat.

“Memang sifatnya non formal ya, tidak seperti sekarang, ada forum di ruangan, ada pembicara formal. Jadi, sifatnya cangkruk-an,” tambahnya.

Mencoba Peruntungan

Tahun 2008 menjadi awal dirinya terjun kedalam dunia penulisan secara profesional. Ia mulai mengirim tulisan ke berbagai media, hingga menerbitkan buku. Baginya, dunia penulisan sudah berubah. Aziz mengalami masa sulit ketika harus menerbitkan buku. Cetakan yang sangat terbatas hingga belum adanya International Standard Book Number (ISBN) menjadikan penerbitan buku tidak semudah sekarang.

“Dulu ada tradisi menerbitkan buku semacam stensilan gitu, ya. kalau sekarang kan lebih mudah menerbitkan buku, banyak penerbit,” pungkas penulis antologi puisi, Playon, tersebut.

Sebagai lulusan sejarah, ia merasa bersyukur. Baginya, dengan latar belakang yang dimiliki, ia mampu memberikan rasa yang berbeda dengan setiap hasil tulisannya, terutama puisi. Hal itu membuatnya semakin kaya dalam menulis serta memiliki cakupan yang lebih luas. Dalam karyanya, ia sering kali memasukkan unsur sejarah, selain memberikan hal berbeda, unsur tersebut dapat menjadi pembelajaran dan pengetahuan baru bagi pembaca.

“Dulu ada tradisi juga (namanya) pentas keliling. Kita punya satu karya kreatif, teater misalnya. Ada musiknya ada teaternya, ada pembacaan puisinya, kita bawa keliling ke kampus-kampus,” ujarnya.

Untuk Sang Pencuri Karya

Dunia sastra memang sudah membesarkan namanya. Sebagai salah satu penerima penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa, sebuah ajang penghargaan bagi dunia kesusastraan Indonesia, bidang puisi pada 2016, Aziz sudah layak dikatakan seorang sastrawan. Namun, dunia sastra tidak sebaik itu, permasalahan minimnya literasi di Indonesia terutama bidang sastra, membuat pasar penikmat karyanya tidak begitu masif. Apalagi, ia cenderung ke dalam ranah puisi.

“Berapa sih misalnya royalti? Royalti, kan paling besar 15 persen. Itu paling besar, untung-untungan, tapi kalau mentok bisa sepuluh persen bisa delapan persen. Ya, itu berapa biasanya?” ungkap bekas ketua Teater Gapus Surabaya.

Menurutnya, ditengah gempuran masif media sosial yang mampu menghadirkan beragam tulisan secara cepat menjadi tantangan tersendiri bagi seorang penulis. Keinginan masyarakat untuk membaca bacaan yang cenderung lebih “berat” kian terkikis dengan keragaman berita dan bacaan ringan yang mempersoalkan kasus rumah tangga seorang artis.

Tantangan lainnya ialah pembajakan buku. Menurutnya, pencurian hak cipta dengan membajak akan memberikan kerugian yang kompleks, baik untuk penerbit, dan untuk penulis, tentunya penulis menjadi objek yang paling dirugikan. Bagi Aziz, infrastruktur hukum yang konkrit ke permasalahan tersebut harus diperkuat, karena kekayaan intelektual perlu dijaga. Ia pun juga kecewa dengan penerbit yang terkadang tidak melakukan kewajibannya kepada penulis yang notabene sebagai produsen dari karya tersebut.

“(Penulis) tidak memiliki kemampuan untuk mengajukan gugatan hukum juga karena butuh uang. Nilai royaltinya ngga besar, gugatan hukumnya nambah biaya. Akhirnya semuanya saling mengikhlaskan gitu,” tambahnya.

Melihat itu, ia berharap kesejahteraan penulis dapat semakin diperhatikan. Kelak, Aziz menginginkan seorang penulis dapat bertahan walaupun hanya dengan berkarya lewat tulisannya, tanpa harus mencari kerja sampingan. Selain itu, ia berpesan agar tradisi berdiskusi pada ranah non formal dikalangan mahasiswa dapat semakin digaungkan serta didukung oleh kampus. Ia melihat, dengan berbagai pembatasan yang dilakukan di lingkungan kampus, membuat lingkup diskusi tersebut semakin kecil.

“Kalau ditutup, terus gimana? Hanya mengandalkan pertemuan tatap muka sama dosen lalu langsung pulang? Yah, mati dong perkembangan wacana,” tutupnya. (*)

Riwayat Pekerjaan

  • Redaktur

    Duta Masyarakat

  • Redaktur

    Memorandum.co.id

  • Pengarang (Sastrawan)

Riwayat Pendidikan

  • S1 Ilmu Sejarah

    Universitas Airlangga

Alumni Berprestasi

Copyright © Universitas Airlangga