Sarno Eryanto

Bangun Klinik dari Jualan Obat di Pinggir Jalan

Laboratorium Klinik pramita sudah dikenal banyak orang. Khususnya di kota-kota besar. tak kurang dari 28 outlet pramita tersebar di kota-kota besar dan mampu menampung sekitar 1.500 karyawan. sangat mungkin outlet pramita akan terus bertambah. sebab, H. sarno eryanto, s.H., M.H., presiden direktur klinik itu, berambisi bisa menambah outlet empat-lima unit per tahun. 

Tidak banyak yang tahu bahwa klinik yang cukup lengkap itu dulu dirintis dari jualan obat di rombong pinggir jalan. sarno harus melalui perjuangan hidup yang keras untuk membangun bisnis laboratorium itu. 

Lahir di Brebes, Jawa tengah, sarno bersama ayah dan ibu tirinya hijrah ke surabaya setelah lulus sMp. Dia melanjutkan sekolah di sMa negeri 4 surabaya. Kondisi keluarganya mulai sulit setelah ibu tirinya meninggal dunia. sejak sekitar 1975 sarno harus mencari penghasilan dengan berjualan minuman di sekolah-sekolah.

Naluri bisnisnya mulai muncul. Dia tak puas hanya berjualan minuman. Dia tertarik dengan bisnis obat. sarno pun menabung sebagian hasil jualan minumannya untuk modal ’’bisnis’’ obat. Keinginannya terpenuhi. sebuah rombong berisi obat-obatan berhasil dibeli dari uang tabungannya. setiap petang dia mendorong rombong itu dari rumahnya ke kawasan tugu pahlawan. Jam kerjanya pukul 17.00 hingga 23.00. 

Malam sabtu-Minggu merupakan hari-hari panen bagi sarno. Omzet penjualan obatnya meningkat tajam. paling laris obat penambah stamina. Di luar hari-hari itu penjualan sepi. apalagi, jika hari hujan, penjualan drop. Kondisi itu membuat sarno melirik bisnis lain. Dia mencoba bisnis pakaian dan aksesoris pria eks impor. saat itu barang-barang ’’dari kapal’’ sedang jadi trend. sarno yang banyak kenal dengan para aBK di tanjung perak dari berjualan obat, bisa mendapatkan barang seperti celana jins, jaket, atau jam tangan dengan harga miring.

Kadang dia mengambil barang di pasar turi dan beberapa toko lain. Dagangan itu dijual secara eceran dengan menggelar lapak darurat di beberapa tempat keramaian. Cukup lama berbisnis obat tampaknya membuat sarno rindu. Dia tinggalkan bisnis pakaian. Kemudian dia bekerja di apotek. semula sebagai cleaning service, lalu diangkat menjadi tenaga administrasi, bahkan menjadi asisten apoteker. 

Di situ dia belajar meracik obat, menghafal nama dan jenis obat. pekerjaan asisten apoteker itu mendorong sarno untuk belajar ke akademi analis Medis, unair, pada 1979 hingga 1983. Berbekal ijazah analis medis itu sarno bekerja di salah satu laboratorium swasta di surabaya. Tak lama bekerja di lab itu sarno bersama delapan temannya mendirikan laboratorium Klinika. namun, dia hanya bertahan dua tahun dalam kongsi tersebut. Dia pun keluar.

Kebetulan dalam waktu hampir bersamaan dia bertemu seniornya, sulton amin, yang juga guru ngajinya. istri sulton juga punya bisnis laboratorium klinik, Sima. Kepanjangan dari Sing Iling Marang Allah (selalu ingat kepada allah).

Dalam suatu obrolan dengan sulton dan istri terlontar tawaran untuk mengembangkan Sima. sarno menyambut tawaran itu dengan membuka satu outlet di Malang. Dengan sentuhan manajemen dan penerapan konsep kejujuran, dalam jangka enam bulan sima menjadi besar. Sukses dengan sima, sarno mengembangkan laboratorium pramita di Dharmawangsa, dengan seorang teman. Dia all-out, selalu inovatif, terutama dalam hal peralatan dan teknologi. pramita harus menjadi laboratorium terakurat dan tepercaya.

Hasil lab harus cepat, computerized, dan online yang bisa diakses mereka yang berkepentingan. Yaitu, konsumen bersangkutan atau dokter. Pria satu cucu itu sangat bersyukur atas keberhasilannya dalam mengarungi hidup. syukur nikmat itu, antara lain, diwujudkan dengan membangun pesantren di kota kelahirannya, Brebes.*

Copyright © Universitas Airlangga