Kukuh Dwi Kristianto

Sempat Diremehkan ketika Memilih Jurusan Ilmu Politik

Bagi Kukuh Dwi Kristianto, tanggung jawab sosial perusahaan atau lebih dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR) bukan sekadar kegiatan sosial, apalagi donasi semata, melainkan 

juga upaya dari perusahaan untuk membuat bisnis yang bermartabat. 

Pandangan Kukuh terhadap CSR tidak lepas dari pengalamannya dalam menggeluti bidang tersebut selama belasan tahun. Pengalaman itu pula yang mengantarnya meraih posisi Manager Regional Engagement and Sustainability di PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk.

Kukuh mengawali kariernya sejak tahun 2004, tepatnya ketika masih menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga. Namun, ia tak langsung menekuni bidang CSR, tetapi menjadi jurnalis di perusahaan media besar, yakni Jawa Pos.

Usai merampungkan kuliah pada tahun 2007, alumnus jurusan Ilmu Politik angkatan 2002 ini diterima sebagai Community Development Executive di Sampoerna.

“Kebetulan, sebelum lulus saya juga sempat magang di sana,” ujar lelaki kelahiran Juli itu.

Memasuki tahun 2012, Kukuh memutuskan untuk hijrah ke dua perusahaan lain, yakni perusahaan pertambangan dan perusahaan asuransi. “Alasannya, pengen mencari ilmu baru soal CSR yang berbeda dengan yang sudah saya dapat di pabrik rokok,” sambungnya.

Menurut Kukuh, selama satu tahun berpindah perusahaan, ada banyak pengalaman yang didapatkannya, salah satunya terkait regulasi. Ia menyebutkan, regulasi di pabrik rokok cenderung lebih ketat dibandingkan regulasi di perusahaan pertambangan atau asuransi.

Namun, karier Kukuh tidak bertahan lama. Sebab, pada bulan Juli 2013 dirinya dipanggil untuk bekerja kembali di Sampoerna. “Karena pertimbangan keluarga juga, akhirnya saya kembali ke sana,” tutur anak bungsu dari dua bersaudara itu.

Masih Dipandang sebagai ‘Sapi Perah’ oleh Masyarakat

Kukuh kemudian melanjutkan penjelasannya perihal bidang CSR. Ia mengatakan, tidak sedikit pihak yang salah kaprah dan menganggap CSR sebagai ‘sapi perah’. Artinya, CSR hanya dimaknai sebatas penggugur kewajiban, dimana setiap perusahaan besar harus memberikan sekian persen dari keuntungannya untuk pemberdayaan masyarakat sekitar.

“Padahal, apa yang dilakukan oleh perusahaan melalui CSR lebih luas. Kalau perusahaan saya ngomongnya bukan sekedar CSR, tetapi sudah tentang sustainability,” terang Kukuh.

Kukuh mengungkapkan, Sampoerna memiliki empat pilar sustainability, yakni mendorong keunggulan operasional, mengelola dampak sosial, mengurangi jejak lingkungan, dan transformasi bisnis. Dari empat pilar itu, lingkup dari CSR adalah mengelola dampak sosial.

Dalam pemberdayaan ekonomi misalnya, Sampoerna tidak hanya memberikan bantuan, tetapi juga pembinaan. Sasarannya beragam, antara lain petani dan pemilik toko retail tradisional. Hal itu dilakukan agar mereka mampu mengelola pendapatan secara mandiri.

Untuk petani, terutama petani tembakau, Sampoerna mengenalkan program kemitraan, yakni program yang menghubungkan petani dengan gudang atau pabrik secara langsung. 

Kemudian, terdapat pendampingan teknis yang bertujuan untuk meningkatkan nilai jual produk tembakau petani. Pendampingan ini berupa proses pembibitan, bantuan on farm, bantuan off farm, bantuan alat pertanian, jaminan beli kepada petani, serta sosialisasi penggunaan alat pelindung diri (APD), dan cara memilih pestisida yang ramah lingkungan. 

“Sementara itu, bagi pemilik toko retail tradisional, kita dampingi dalam hal pengenalan ilmu marketing sekaligus pengelolaan keuangan. Tujuannya, agar mereka tetap eksis, dapat bersaing dengan toko modern, dan omzetnya mengalami peningkatan,” sebutnya.

Selain pemberdayaan masyarakat, Sampoerna turut berkontribusi menjawab persoalan yang dihadapi pemerintah, salah satunya di masa pandemi Covid-19. Ketika pemerintah mengalami kesulitan dalam pengadaan alat-alat kesehatan, perusahaan hadir dengan cara menyalurkan bantuan berupa alat polymerase chain reaction (PCR) hingga ventilator.

“Jadi lingkupnya luas. Karena CSR masuk dalam departemen External Affairs, urusan kami dengan banyak pihak, seperti karyawan, pemerintah, komunitas, akademisi media, dan lembaga swadaya (NGO). Bagi saya ini amanah juga tanggung jawab yang berat. Sebab, kami harus memastikan CSR perusahaan disalurkan ke pihak-pihak yang tepat,” tegasnya.

Terkesan dengan Pembelajaran yang diberikan UNAIR

Berbicara mengenai UNAIR, Kukuh bercerita bahwa dirinya sempat dipandang sebelah mata oleh salah seorang kerabatnya karena memilih untuk masuk ke jurusan lmu politik.

“Kamu daftar ilmu politik, mau jadi apa? Tapi saya tidak khawatir karena saya memang ingin mengerti politik. Apalagi tahun 2000an kan masa-masa pasca demo 98’,” imbuhnya.

Ketika mulai berkuliah pada tahun 2002, peminat jurusan ilmu politik hanya belasan orang. “Bahkan, tahun berikutnya banyak teman yang pindah ke jurusan lain,” ceritanya.

Namun, Kukuh tidak gentar. Ia pun sempat dipercaya sebagai ketua himpunan mahasiswa (Kahima) ilmu politik tahun 2003-2004. Baginya, pengalaman sebagai kahima terbilang berat. Sebab, dirinya dituntut untuk dapat menyatukan seluruh mahasiswa di jurusannya.

“Kebetulan, saya dulu tidak ikut organisasi lain, sementara temanteman banyak yang bergabung di organisasi ekstra kampus dan punya jabatan di sana. Saya bilang ke mereka, anda boleh ‘berjaket’ organisasi ekstra kampus, tetapi ketika ngomong hima, lepas dulu jaketnya. Kita diskusikan bagaimana yang baik untuk jurusan ilmu politik,” kenang Kukuh.

Meski banyak tantangan yang harus dihadapi selama proses perkuliahan, putra pasangan almarhum Sarto dan almarhumah Nuriyati ini bersyukur karena dapat bertemu dengan para dosen yang luar biasa. Selain itu, ada banyak pelajaran berharga yang diperolehnya.

Jurusan ilmu politik membantu Kukuh untuk memahami politik, baik secara teori maupun praktik. “Jadi, kampus mengajarkan saya agar dapat merespon kebutuhan masyarakat serta permasalahan yang ada di lapangan secara rasional, terukur, dan terarah,” urainya.

Kukuh berpesan kepada mahasiswa ilmu politik yang sekarang sedang berkuliah, tetapi masih gamang dengan pilihannya. “Yang saya mau bilang, apa yang diajarkan di kampus dapat menjadi dasar ketika kita bekerja di perusahaan. Jadi, serap ilmu sebanyak mungkin dan aktif dalam berorganisasi karena perusahaan akan mempertimbangkan itu,” jelasnya.

Sebagai alumnus, Kukuh berpandangan, jika UNAIR ingin menjadi World Class University (WCU), maka yang harus dilakukan, antara lain memperbanyak guru besar, menambah jurnal, menyeimbangkan jumlah dosen dan mahasiswa, hingga menjaring para alumni. (*)

Riwayat Pekerjaan

  • Manager Regional Engagement & Sustainability

    PT HM Sampoerna Tbk

  • Agronomist

    PT HM Sampoerna Tbk

  • Manager Good Agricultural Program & CSR

    PT HM Sampoerna Tbk

  • CSR Manager

    PT Prudential Life Assurance

Riwayat Pendidikan

  • Magister of Agribusiness Management

    Universitas Pembangunan Nasional Surabaya “Veteran” (UPN Jatim)

  • S1 lmu Politik

    Universitas Airlangga

    2002 - 2007

Alumni Berprestasi

Copyright © Universitas Airlangga