Dari Wartawan Kampus Hingga Jurnalis Kelas Dunia
Anak Agung Gde Bagus Wahyu Dhyatmika merupakan seorang jurnalis profesional yang kini menjabat sebagai CEO Info Media Digital (Tempo Digital). Disisi lain, ia juga merupakan aktivis pada Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang terus memperjuangkan jurnalisme independen kebebasan pers, hingga kesejahteraan pada pekerja industri media. Wahyu, panggilan akrabnya, merupakan alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR) jurusan ilmu komunikasi angkatan 1996.
Sebagai putra asli Bali, Wahyu, hanya berpikir untuk dapat melanjutkan pendidikan tinggi di kota besar yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Akhirnya, Surabaya menjadi tempatnya berlabuh. Saat SMA, Ia memang sudah tertarik dengan dunia jurnalistik. Wajar saja, saat berkesempatan menjangkau bangku universitas, mata kuliah favoritnya tidak jauh dari materi tentang jurnalistik. Ketika itu, ia pun bergabung dalam sebuah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) bernama Retorika.
“Tahun ’97 dan ’98, di era gerakan mahasiswa, saya aktif sebagai wartawan kampus. Jadi memberitakan demo-demo mahasiswa untuk mahasiswa yang tidak ikut. Jadi itu salah satu pengalaman yang akhirnya menempa skil jurnalistik saya. Kebetulan memang klop dengan apa yang saya pelajari di ruang kuliah,” ungkapnya.
Baginya, dunia jurnalistik merupakan hal mengasyikkan sekaligus menantang. Disana, ia mampu menelisik sebuah fenomena yang terkadang tidak terjangkau oleh orang banyak. Selain itu, ia pun dituntut untuk dapat berpikir secara terstruktur dan melihat sebuah fenomena secara holistik. Apalagi, kebermanfaatan yang diberikan begitu besar. Tentu saja, bekal-bekal tersebutlah yang akhirnya membawanya hingga saat ini.
“Waktu kecil saya sering membuat buletin keluarga. Jadi keluarga kami tinggal di beberapa kota terpisah. Saya membuat buletin yang menghimpun informasi dari keluarga-keluarga yang terpisah itu dan dikirim ke kota-kota tempat keluarga kami tinggal,” jelas pria yang juga akrab dipanggil Bli Komang tersebut.
Menurutnya, menjadi seorang jurnalis tidak boleh cepat puas, terlalu banyak hal-hal yang dapat digali dari sebuah fenomena yang ada. Ketika menjadi jurnalis kampus, Wahyu berusaha untuk mencari pendanaan dari berjualan buletin, agar majalah retorika dapat terbit lebih sering dalam satu tahun. Maklum saja, dana yang dikucurkan oleh dekanat hanya mencukupi penerbitan dua hingga tiga kali dalam setahun.
Menjadi Wartawan Lapangan
Setelah lulus, tahun 2002 ia memulai perantauannya ke Jakarta. Perjalanannya dimulai dari seorang wartawan lapangan. Sebagai “orang” lapangan, mobilisasinya sangat cepat dan cenderung nomaden. Ia harus bergerak ke berbagai kantor pemerintahan, pengadilan, kantor polisi, dan tempat lainnya. ia pun pernah ditugasi sebagai wartawan politik yang mengharuskannya bermobilisasi di Gedung DPR.
“Itu enak banget, karena semua narasumber berada dalam satu tempat, jadi ngga perlu keliling. Jalan sedikit ketemu anggota DPR, jadi banyak beritanya. Saya bisa buat 10 sampai 15 berita sehari tentang berbagai topik yang lagi dibicarakan orang,” tambah penggagas IndonesiaLeaks.id tersebut
Pada 2004, ia melanjutkan pendidikan master di University of Westminster pada jurusan International Journalism at Media. menurutnya, kini, peran media sudah berubah. Adaptasi bagi penggiat media merupakan sebuah kewajiban, apalagi, dengan bermunculan sosial media, semua orang bisa menjadi “jurnalis”. Setelah tuntas, ia kembali ke Tempo untuk melanjutkan pengabdiannya dengan ilmu dan pengalaman baru yang didapatkan. Wahyu mencoba melakukan transformasi pada dunia media digital.
“Salah satu karakter media digital itu, publiknya interaktif. Kita gak bisa lagi hanya satu arah. Karakter di media digital itu, dia partisipatif. Publik harus terlibat, publik harus aktif. ada engagement, redaksi harus melibatkan pembaca,” ucapnya.
Tidak lama, Wahyu pun bergeser dan memfokuskan diri pada isu investigasi. Ia sempat menjadi redaktur pelaksana pada hingga tahun 2014 pada sebuah rubrik investigasi. Ketika itu, Tempo mulai rutin untuk melakukan liputan investigasi. Disana mulai disadari, bahwa kebutuhan atas data sebagai basis liputan menjadi sangat penting. Baginya, hanya data yang mampu melihat sebuah tren dalam jangka panjang.
“Liputan tidak sekedar wawancara atau reportase tapi harus ada data processing-nya, data analysis-nya, harus ada gambar besarnya gitu, bukan kasus-kasus aja. Tapi sebetulnya sistemnya seperti apa, apakah ada yang keliru dari peta besar masalahnya, kita gak boleh hanya zoom-in saja,” ungkap jurnalis yang menjabat sebagai SekJen Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) tersebut.
Mengungkap Skandal Panama Papers
Dalam perjalanan karirnya, Wahyu memiliki batu loncatan tersendiri. Baginya, kesempatan dan kepercayaan yang diberikan oleh The International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) untuk mengungkap sebuah kasus penggelapan dan penghindaran pajak besar dalam Panama Papers telah memberikannya banyak pengalaman berharga.
Bersama lebih dari 400 jurnalis dari 80 negara, ia menyelidiki jutaan dokumen finansial sebesar 2,6 tera-bite dari sebuah firma hukum asal Panama, Mossack Fonseca, yang bocor sehingga mengungkap jejaring korupsi dan kejahatan pajak para kepala negara, agen rahasia, hingga buronan yang disembunyikan di surga bebas pajak atau tax havens.
“Itu kolaborasi jurnalistik global pertama yang jangkauannya seluas itu. Dan waktu itu saya terlibat mewakili tempo dalam kolaborasi itu,” tambahnya.
Selama satu tahun melakukan investigasi, ia harus berhati-hati agar kegiatan yang sedang dilakukan tidak terendus pihak lain. Bahkan, ketika akan berkomunikasi dengan jurnalis lain, Wahyu harus melalui proses komunikasi yang cukup rumit agar enkripsi dan kerahasiaan data tetap terjaga. Dengan hal itulah, ia banyak belajar hal baru, salah satunya tentang keamanan data (Security Data) yang sangat dibutuhkan di era digital.
“Kegiatan tersebut merupakan bentuk konkrit dalam menggabungkan dua karakter, digital dan investigasi, itu yang ditunjukan oleh Panama Papers. Jadi bagaimana teknologi digital memungkinkan jurnalisme investigasi jadi lebih efektif,” ujar penggemar legenda wartawan, Mochtar Lubis, itu.
Tetap Teguh Berikan Informasi
Sebagai seorang jurnalis, tentu, ada risiko yang harus ditanggung. Apalagi ketika berhadapan dengan kasus besar dan seorang jurnalis harus tetap menginformasikan kebenaran kepada masyarakat. Sebagai seorang pimpinan, ia pun mendengar bagaimana jurnalis Tempo harus dipukul dan disekap ketika meminta keterangan kepada narasumber di kantor pajak. Beberapa kesempatan, redaksi Tempo sering dituntut dan diancam untuk dibangkrutkan oleh perusahaan besar.
“Biasanya orang itu protes kalau tidak diberikan kesempatan yang fair untuk merespon. Biasanya protes yang berujung pada aksi teror itu memang sangat tergantung dari kita mendekati sumber berita,” jelasnya.
Namun, Tempo selalu memberikan kesempatan wawancara dan tempat kepada orang-orang yang dituduh untuk menceritakan kronologi kejadian sesuai versinya. Selain itu, Tempo pun berusaha untuk meminta konfirmasi dan mengecek kebenaran berita yang akan terbit.
Mimpi Besar Wahyu
Setelah puluhan tahun dibesarkan oleh media, harapan Wahyu sederhana, ia ingin Tempo selalu menjadi pelayanan publik serta menebarkan kebermanfaatan dari seluruh informasi yang dibagikan. Ia ingin, Tempo selalu hidup dari pembacanya. Menurutnya, itulah yang akan membuat media bertahan tetap independen dan berkelanjutan di masa mendatang.
Tidak hanya itu, Wahyu pun berharap, UNAIR akan terus menjadi pelopor kebaikan dan simbol dari keterbukaan. Kelak, ia ingin melihat lulusan UNAIR mampu tersebar di berbagai sektor dan menjadi agen perubahan di setiap bidang yang digeluti.
“Terus menjadi sebuah tempat belajar yang menyenangkan, inklusif, terbuka, tidak dogmatis, dan memberikan kesempatan mahasiswanya untuk belajar dan salah,” tutupnya.